TEMA : cinta kepada lawan jenis
Nama : Putri candra indriyani
Kelas : 1EA19
NPM : 15216842
Senja
Dia berlari, gadis itu berlari dengan cepat.
Rambutnya yang tergerai beterbangan terbawa angin senja. Dengan kemeja putih
lengan panjang, rok merah panjang, dan sandal hitamnya, gadis itu berlari
membelah senja. Air matanya mulai mencair, rasa sedih, takut, dan khawatir
berkumpul dan tercampur aduk di dalam hatinya. Sang surya pun mulai malu
menampakkan dirinya, mulai menyembunyikan sinar dan kehangatannya, menambah
sendu di senja itu. Gadis itu terus berlari di jalan aspal itu, hanya ditemani
jingganya lamgit senja dan tiupan angin sore.
Terlihat dimata gadis itu ujung jalan setapak.
Sebuah jalan raya yang besar. Tapi bukan itu yang dituju oleh matanya, matanya
tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di tepi jalan raya itu, dengan
koper disebelahnya, terlihat laki-laki itu ingin pergi jauh.
“Bagas…” teriak gadis itu.
Lari gadis itu mulai terhenti. Nafasnya memburu,
matanya sedikit sayup, dia kelelahan.gadis itu berusaha tetap pada posisinya,
melihat ke arah laki-laki yang berdiri sekitar 500 meter di hadapannya. Air
matanya semakin deras, tangis gadis itu pun makin menjadi. Gadis itu berlari ke
arah laki-laki yang dipanggilnya Bagas, memeluknya dengan erat bagai tak mau
dilepas lagi.
“Kamu sungguh akan pergi?” tanya sang gadis.
“Tentu, ini kan cita-citaku, aku ingin jadi tentara”
jawab Bagas.
Hari itu adalah tiga hari setelah kelulusan sang
gadis dari SMA. Kelulusan berarti berpisah dengan teman-temannya setelah tiga
tahun lamanya bersama. Bukan sebuah hal yang berat untuk gadis itu berpisah dengan
teman-teman SMAnya, kecuali dengan laki-laki bernama Bagas ini. Ya, Bagas
adalah cinta pertama gadis itu.
“Lho kenapa
menangis?, kita sudah lulus dari SMA, harusnya kamu senang” tanya Bagas.
“Hanya sedih aja” jawab sang gadis singkat.
“Hahaha… sudah jangan sedih lagi Nina, kamu harus
memikirkan ingin melanjutkan pendidikan kemana, itu yang penting saat ini”
hibur Bagas.
Nina, itulah nama gadis itu. Gadis yang akan melihat
cinta pertamanya pergi.
“Aku akan kembali lagi, saat aku sudah jadi tentara”
hibur Bagas.
“Janji?” Nina mencoba meminta keyakinan.
“Iya, aku akan terus mengabarimu, oke?” Bagas
meyakinkan.
Dari kejauhan mendekat sebuah mobil besar berwarna
hitam. Mobil itu yang akan membawa Bagas pergi untuk meraih cita-citanya,
menjadi seorang tentara, sekaligus yang akan membawa pergi cinta pertama Nina.
Nina memang sudah lama jatuh hati pada Bagas. Idola
satu SMA, itulah julukan untuk Bagas. Laki-laki dengan paras tampan, tinggi,
dan tubuh yang bisa dibilang sudah atletis. Seluruh gadis satu SMAnya menyukai
Bagas, jangankan para gadis, para laki-laki saja iri padanya, punya paras yang
tampan dan badan yang bagus sudah jadi impian laki-laki, menambah nilai jual
istilahnya.
Idola satu sekolah, itulah alasan Nina
menyembunyikan perasaannya pada Bagas, tak mau jadi bahan olokan satu sekolah.
Apalagi saat Nina tahu kalau Ira, sahabatnya dari kecil juga jatuh hati pada
Bagas. Nina tak ingin persahabatannya dengan Ira rusak karena berebut
laki-laki, dan akhirnya, saat kelas 11 SMA, Ira dan Bagas menjalin hubungan,
teriris rasanya hati Nina saat mendengar kabar itu, tapi demi persahabatan,
Nina lebih memilih mengalah, mengorbankan cintanya demi persahabatan. Kadang cinta tak harus memiliki. Itulah
yang dianggap terbaik untuk Nina.
Tapi kini, Bagas sudah tak milik siapa-siapa. Saat
Bagas memilih untuk jadi tentara, menempuh pendidikan tentara di Akademi
Angkatan Udara, saat itu pula Ira memutuskan hubungannya dengan Bagas karena
tidak ingin Bagas jadi tentara.
Sekilas pikiran Nina melayang menembus waktu. Mengingat
tentang pujaan hatinya pernah dimiliki sahabatnya sendiri. Tangan Nina
menggenggam tangan Bagas dengan erat, Bagas mulai heran. Kenapa Nina menggenggam tanganku?. tanya Bagas dalam hatinya.
“Nina, kamu baik? Kenapa menggenggam tanganku?” tanya
Bagas keheranan.
“Ti-tidak apa, aku baik” jawab Nina, melepas
genggaman tangannya.
Mobil berwarna hitam itu sudah berada di hadapan
mereka. Ini adalah kedua kalinya untuk Nina merasakan sakit yang teramat
sangat. Kini pujaan hatinya pergi meninggalkannya. Pergi jauh sekali.
“Jangan bersedih seperti itu, kamu jadi tak
kelihatan cantik” Bagas mencoba menghibur Nina.
“Kalau kamu tidak kembali lagi” Nina mulai bersedih,
air matanya mulai berlinang.
“Janjiku janji ksatria, jadi aku pasti akan kembali,
itu pasti” mengusap air mata Nina.
Bagas naik ke mobil hitam besar itu, dengan
mengangkat koper dan tasnya, dia naik dengan senyuman yang manis. Pandangan
mata Bagas tak lepas dari wajah muram Nina. Di luar mobil, tangis Nina tak
dapat dibendung lagi, menetes makin banyak, namun terhenti sejenak saat melihat
Bagas tersenyum dengan senyum yang manis. Senyuman yang paling manis dari sosok
yang dia cintai selama ini.
***
Waktu telah berlalu. Nina melanjutkan sekolahnya ke
sebuah perguruan tinggi, dengan nilai yang baik, dia tidak harus mengeluarkan
biaya, beasiswa hadiah atas kerja kerasnya saat masih dibangku sekolah,
fakultas kedokteran, cita-cita Nina dari dulu.,
Hari itu Nina duduk di bangku di sebuah taman.
Ditemani beberapa bunga yang sedang mengembang, harumnya semerbak membawa
ketenangan. Angin sore itu sedikit sejuk, ditambah sinar matahari yang mulai
enggan bersinar. Senja itu membawa Nina
kepada sosok yang dia rindukan.
“Sudah dua tahun sejak hari itu, kau pergi untuk
menggapai impian mu, bagaimana kabar mu disana? Apa kamu sehat? Atau sedang
tidak enak badan? Aku ingin melihat mu lagi, melihat senyum mu itu” angan-angan
Nina melayang ke pujaan hatinya.
Secara tak sadar, air matanya menetes, air matanya
turun ke bawah, mengingat Bagas yang tak pernah terdengar kabarnya. Nina selalu
berharap mendapat sebuah pesan dari Bagas, entah itu secarik kertas berisi
tulisan tangan Bagas ataupun sebuah pesan elektonik dari laki-laki itu.
“Nina…” seorang gadis mengagetkan Nina dari arah
belakang.
“Au… Dela, kaget aku” Nina memberi reaksi.
“Nina, kamu menangis? Kenapa?” heran melihat air
mata Nina.
“Tidak, aku tidak menangis” mengalihkan pembicaraan.
“Masa sih, bohong…” Dela menggoda.
“Apa sih kamu?, udah ah aku mau mau beli roti” Nina
meninggalkan teman kampusnya itu.
“Nina tunggu, aku ikut” bergegas mengejar Nina.
Nina tetap menyembunyikan semua tentang Bagas,
menurutnya untuk saat ini, cukup dia saja yang menyimpan hal ini, tak ada satu
orang pun yang harus tahu.
***
Di asrama taruna akademi angkatan laut, Bagas hanya
berbaring saja. Pikirannya melayang pada senja itu, senja yang menurutnya senja
yang indah.
Sore itu, setelah Bagas naik dan menutup pintu mobil
hitam itu. Mobil itu bergerak perlahan, meninggalkan sosok gadis yang tengah
bersedih. Wajah muram gadis itu terus memandangi mobil hitam yang ditumpangi
Bagas.
“Siapa itu gas?” Paman Bagas yang saat itu sedang
menyetir bertanya.
“Teman” jawab Bagas singkat.
“Yakin teman? Paman rasa ada yang lain” Paman Bagas
mulai menggoda.
“Maksud paman?” tanya Bagas heran.
“Ya… kelihatannya gadis itu menaruh rasa pada mu”
sang paman menjawab pertanyaan Bagas.
“Masa iya? Aku rasa tidak paman” Bagas makin heran.
“Mana ada gadis yang mau mengejar laki-laki yang
ingin pergi kalau bukan karena laki-laki itu spesial di dalam gadis itu” terang
Pamannya.
Bagas terdiam memikirkan hal itu dalam perjalanan.
Sampai dua tahun berlalu, dalam baringannya, Bagas selalu memikirkannya. Apa benar dia menaruh hati padaku?. Pikir
Bagas di malam itu. Malam itu sangatlah sepi, pemandangan yang sudah sangat
biasa terjadi di akademi Tentara Nasioanal Indonesia.Tempat yang memiliki tingkat
disiplin yang tinggi. Tempat dimana Bagas mengejar impiannya menjadi seorang
prajurit.
Lamunan Bagas makin meninggi. Bagas mulai memikirkan
seperti apa Nina saat ini, bagaimana keadaannya, apa dia sehat atau sedang
tidak enak badan. Semua itu terlintas begitu saja dipikirannya, pikirannya
hanya tertuju pada Nina. Hanya Nina seorang.
***
Akhir semester genap pun tiba. Dua bulan waktu yang
harus dihabiskan Nina untuk liburan. Melepas kepenatan, menjauh dari rutinitas
yang membosankan.Nina dan Dela telah merencanakan liburan indah hanya untuk dua
orang teman itu.
“Akhirnya kita liburan, dua bulan kita libur… yeay”
Dela senang.
“Kita jadi ke Jogja?” tanya Nina.
“Jadi dong, besok kita berangkat” menjawab Nina
dengan penuh suka cita.
“Jadi gak sabar buat besok” Dela tak sabar.
“Hahaha… sabar Dela” tawa Nina.
Akhir semester kali ini, Nina dan Dela, dua sahabat
ini akan menghabiskan liburan mereka ke kota Jogjakarta, salah satu kota wisata
di Indonesia. Tapi disinilah, liburan kali ini akan jadi liburan yang
istimewah.
Esok harinya, Nina dan Dela memulai perjalanan
mereka, dengan membawa koper dan barang mereka masing-masing, mereka menaiki
kereta menuju Jogjakarta.
“Liburan kita…” Dela kegirangan.
“Dela, jangan norak deh…” Nina meledek Dela.
“Aku tuh seneng banget, ini pertama kalinya aku
liburan bersama teman ku tanpa orang tua” Merangkul dan meremas lengan atas
Nina. Nina hanya tersenyum membalas ocehan Dela.
Mereka naik ke gerbong kereta, mencari kursi mereka.
Saat telah menemukan kursi mereka, Nina terdiam melihat dua orang bapak
berseragam tentara. Nina membisu tak bergerak, matanya hanya menatap kosong ke
arah dua bapak tentara itu.
“Mbak, ada apa ya? Kok lihatnya begitu amat?” salah
seorang tentara yang duduk di pinggir.
Nina tetap diam.
“Nin, kamu kenapa? Mikirin apa sih?” menyenggol
tubuh Nina.
Nina menggeleng kepala, tersadar dari lamunannya. “Eh
gak kok, aku cuma mikirin sesuatu aja, gak penting kok” Nina tersenyum
mengalihkan pembicaraan.
“Bener Nin?” Dela mencoba meminta kepastian.
“Iya kok” Nina member kepastian.
“Mbak – mbaknya duduk disini?” tanya tentara yang
satu lagi,.
“Iya pak” Dela menjawab sopan.
“Mari saya bantu angkat kopernya” Bapak tentara itu
menawarkan bantuan.
“Wah pak, kebetulan, tas saya memang berat” Dela
menerima tawaran sang bapak tentara itu.
“Maaf ya pak merepotkan” kata Nina merasa tak enak
hati.
“Gapapa mbak, saya cuma mau bantu aja” jawab bapak
tentara itu sambil melempar senyum.
“Senyum bapaknya manis banget, emang tentara auranya
beda” Dela berbisik ke Nina.
“Ssstt… apaan sih kamu Del?” menyenggol Dela.
Setelah dibantu untuk meletakkan barang bawaan
mereka, Nina dan Dela duduk, lalu berbincang dengan dua bapak tentara itu yang
kemudian diketahui namanya Ahmad dan Bram. Tak lama kemudian, kereta mulai
bergerak. Kereta itu memulai perjalanannya menuju Jogjakarta.
***
Kereta melaju dengan cepat dan pasti. Asap yang hitam
keluar dari cerobong lokomotif mengekor kearah belakang. Kereta itu melaju di
antara hamparan hijaunya sawah. Saat itu hari telah sore, langit jingga mulai
menyelimuti cakrawala, sang surya mulai menyembunyikan cahayanya. Sore itu
benar-benar sunyi, Nina yang duduk di dekat jendela kereta, melihat keluar
jendela, pemandangan sore itu membawa pikirannya ke hari itu, hari dia berpisah
dengan Bagas.
Apa
kabar mu saat ini Bagas? Kapan kita bisa bertemu? Aku selalu menunggumu
kembali, meskipun kau kembali bersama gadis lain, setidaknya aku sudah
melihatmu lagi.
Lagi-lagi, pikirsn Nina melayang jauh, pikirannya
tertuju pada perpisahannya dengan Bagas. Sambil memandangi pemandangan di luar
kereta, Nina melamun jauh, tak terasa oleh Nina bahwa air matanya mengalir.
Bapak tentara yang duduk di hadapan Nina, yang
bernama Bram, melihat Nina menangis. Pak Bram heran kenapa gadis yang duduk di
kursi depannya menangis.
“Mbak, mbak nangis? Kenapa toh mbak?” tanya Pak Bram heran.
“ Ti-tidak kok pak, saya tidak meangis” Nina mencoba
mengalihkan suasananya.
“Itu toh
mbak, air mata mbaknya jatuh” meyakinkan pengliahatannya.
“Tida kok pak, cuma kering aja, jadi berair deh”
Nina mencoba mengalihkan jawabannya.
“Kalau mbak ada masalah, coba diselesaikan mbak,
apalagi kalau masalah cinta mbak” Pak Bram mencoba menggoda.
“Bapak bisa aja” Balas Nina. “Oh iya pak, bapak
sudah beristri kan pak?” Nina mengalihkan pembicaraan.
“Iya mbak” menjawab pertanyaan Nina.
“Bapak kalau sedang tugas, berarti istri dan
anak-anak bapak ditinggal sama, tidak kasihan pak?” Nina berhasil mengalihkan
pembicaraan.
“Ya… kalau kasihan sih kasihan, tapi apa boleh buat,
saya tentara, sudah risikonya jadi istri tentara ya seperti itu, harus kuat
ditinggal pergi suami bertugas” jelas Pak Bram.
“Berarti istri bapak buakn wanita sembarangan ya?”
Nina mulai memperpanjang pembicaraan.
“Lah suaminya saja pria hebat, pasti istrinya juga
wanita hebat” jelas Pak Bram.
“Si bapak bisa aja” meledek Pak Bram.
“Hahaha… ya begitulah kalau mau jadi istri tentara,
harus punya komitmen untuk mencintai, harus kuat diduakan oleh tugas, harus
kuat ditinggal sendiri dalam waktu lama” jelas Pak Bram.
Nina menganggu-angguk. “Iya juga ya pak, kayaknya
saya tidak bisa seperti istri bapak” memulai canda.
“Lah memang pacar mbak tentara?” Pak Bram
mengeluarkan pertanyaan menggoda.
”Bukan pak, saya belum punya pacar” jawab Nina
jujur.
“Masa iya? Mbak kan cantik, masa iya ndak ada yang mau sama mbak?” Pak Bram
mulai bercanda.
“Ah bapak bisa aja, jadi malu saya hahaha…” Nina
tertawa girang hingga membangunkan Dela yang terlelap di sebelah kanannya.
“Ih… Nina berisik banget, lagi ngomongin apa sih?”
Dela penasaran.
“Gak kok Del, Cuma bercanda aja sama Pak Bram”
Menjawab pertanyaan Dela.
Jadi,
seperti itu jadi pendamping hidup seorang prajurit, aku harus bisa seperti itu,
demi Bagas. Nina memiliki motivasi untuk memiliki Bagas
sepenuhnya, dia mulai percaya diri akan perasaannya pada Bagas.
***
Tiga hari telah berlalu, sudah tiga hari waktu yang
mereka habiskan untuk liburan di Jogjakarta. Hari itu sudah malam, Dela ingin
mengajak Nina pergi ke jalan Malioboro, jalan yang sangat terkenal sebagai
tempat wisata belanja dan wisata kuliner.
“Nin, jalan yuk” ajak Dela.
”Jalan kemana?” tanya Nina.
“Malioboro yuk, disana kan banyak yang jualan
makanan” ajak Dela lagi.
”Ayo deh kalau begitu, mumpung lagi laper” Nina
setuju dengan ajakan Dela.
Nina dan Dela menuju jalan Malioboro. Malam itu
jalan Malioboro benar-benar ramai, sudah biasa kalau keadaan di jalan Malioboro
sangat ramai. Nina dan Dela berjalan
menyusuri jalan Malioboro itu, namun karena terlalu ramainya, Nina terpisah
dengan Dela.
”Aduh…” Nina tertabrak seseorang.
“Del, Dela… kamu dimana? Dela…” Nina mencari Dela
karena terpisah dengan Dela.
“Dela mana sih? bisa gawat nih kalau sampai hilang
disini, coba telepon Dela aja kali ya…” menekan ponselnya, mencari kontak Dela,
lalu mencoba menelepon Dela.
Nina mulai panik, dia terpisah dengan Dela, Dela pun
tak bisa dihubungi, Nina bingung, sambil berjalan dia melihat kesekelilingnya,
terus mencari dimana Dela berada. Tiba-tiba, Nina menabrak seseorang hingga dia
terjatuh, memang saat itu Nina berjalan mundur karena mencoba mencari Dela.
“Aduh…” Nina terjatuh.
“Maaf” terdengar suara seorang laki-laki.
Nina terkejut saat melihat siapa orang yang dia
tabrak, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya dan meminta maaf pada
Nina. Nina hanya bisa diam membisu melihat siapa orang yang ada di hadapannya
itu. Laki-laki yang selama ini ada dipikirannya selama ini, Bagas. Bagas
berdiri di depan Nina, di hadapan Nina, dia terlihat gagah dengan seragam
taruna Akademi Tentara Nasional Indonesia, potongan rambut Bagas yang sangat
khas sebagai gaya seorang tentara, terlihat rapid an bersih. Mata Nina tak bisa
lepas dari sosok laki-laki yang ada di hadapannya ini. Pujaan hatinya kini
berada di hadapannya.
“Nina” sapa Bagas.
“B-B-Bagas..” masih tak percaya.
“Apa kabar?” Bagas bertanya sambil menarik Nina
untuk membantu Nina berdiri.
“A-aku baik, kau bagaimana?” Nina salah tingkah,
hatinya berdebar-debar.
“Baik, sedang liburan?” tanya Bagas lagi.
“Iya, kamu juga sedang libur?” tanya Nina penasaran.
“Ya begitulah, niatnya mau pulang ke Magelang, ke
rumah paman ku, tapi bertemu kamu disini, aku jadi malas ke Magelang” ucap
Bagas.
“Bisa aja kamu” Nina tersenyum malu.
“Jadi kamu disini bersama siapa” tanya Bagas.
“Astaga ,aku lupa, aku terpisa dengan temanku tadi”
terang Nina.
”Hadi… Bara…sini” memanggil teman-temannya.
Teman-teman Bagas yang bernama Hadi dan Bara itu
dating menghampiri mereka berdua.
“Wuih… Bagas gak pernah ngomong nih kalau punya
teman perempuan yang cantik” goda Bara.
“Iya nih, kenalin dong gas” timpa Hadi.
“Bukan teman, pacar” ucap Bagas sambil merangkul
Nina.
Nina hanya terdiam dan kaget dengan ucapan Bagas. What? Bagas bilang aku pacarnya Bagas, mimpi
apa aku semalam. Nina mencoba sadar dari lamunannya.
“Wah, Bagas beruntung pacar kayak kamu, siapa
namanya gas?” goda Bara.
“Namanya Nina Agam Karmilawati, tapi sebentar lagi
berubah jadi Nina Agam Kurniawan” jelas Bagas.
Nina mulai bingung. Tiba-tiba dari belakang
terdengar suara Dela memanggil Nina. Saat Dela sampai di tempat Nina berdiri,
Dela kaget dengan apa yang dilihat olehnya.
“Nina, ini siapa? tanya Dela heran.
“Eh, kenalin dia…” mencoba menjelaskan, tapi
dipotong oleh Bagas.
“Bagas Kurniawan, pacarnya Nina” Bgas memperkenalkan
diri.
“Nina… kok gak pernah bilang kalau kamu sudah punya
pacar” Dela agak geram.
“Bukan…” Nina bingung.
“Mungkin dia malu bilangnya, ya kan Nina?” bicara
sambil mengelus kepala Nina.
Nina masih terdiam, apa maksud dari perkataan Bagas.
Apa mungkin Bagas serius dengan
perkataannya? Aku rasa tidak, mana mungkin seorang Bagas mau bicara seperti
itu, apalagi dihadapan teman-temannya, sangat tidak mungkin, ini mustahil.
Itulah yang terus dipikirkan oleh Nina, sebuah perkataan yang sulit dipercaya
keluar begitu saja dari mulut Bagas.
***
Di sepanjang perjalanan menyusuri jalan Malioboro,
Nina hanya terdiam dalam rangkulan Bagas yang tertawa riang bersama Hadi dan
Bara serta Dela. Nina masih saja berpikir apa maksud Bagas itu, candaan ataukah
sungguhan? masih sulit untuknya mengerti.
Di sebuah persimpangan, Bagas dan temannya, Hadi dan
Bara memisahkan diri dengan Nina dan Dela. Memang malam itu adalah malam yang
istimewah, bukan hanya karena bertemu dengan Bagas, tapi perilaku Bagas yang
benar-benar seperti menganggap Nina sebagai kekasihnya. Seorang seperti Nina
diperlakukan seperti itu oleh Bagas si laki-laki sempurna.
Saat sudah sampai di rumah bibi Ambar, bibinya Dela,
tempat Nina dan Dela menginap selama di Jogjakarta, Nina langsung masuk ke
kamar, berbaring di atas ranjang sambik memikirkan apa yang telah terjadi
selama berjalan di Malioboro, benar-benar suatu kejadian yang baru pertama kali
baginya, bukan masalah dirangkul oleh seorang laki-laki, kalau masalah itu Nina
sering dirangkul teman-teman lelakinya, tapi dirangkul oleh pujaan hatinya,
bagai seorang putri bertemu dengan pangerannya, itulah perasaan Nina.
“Nin, kamu baik kan?” tanya Dela sambil membuka
pintu kamar, berjalan mendekati Nina, dan duduk di samping Nina berbaring.
“Hnaya bingung” jawab Nina singkta.
“Oh iya, kok kamu gak bilang sih kalau kamu sudah
punya pacar” canda Dela.
“Dia bukan pacarku” jawab Nina spontan.
“Kok laki-laki itu bilang kamu itu pacarnya dia?”
Dela bingung.
“Aku juga tidak mengerti” Berusaha menyembunyikan
perasaannya.
“Aneh…” Dela curiga.
Tiba-tiba ponsel Nina menyala, sebuah pesan masuk,
Nina segera meraih ponselnya, saat dilihat layarnya, pesan dari Bagas Nina
langsung saja membuka pesan yang dikirim oleh Bagas itu. Nina membaca pesan
tersebut yang berisi.
“Aku serius dengan yang tadi, mungkin sedikit
terlambat untuk mengakui, untuk menyatakan perasaan, tapi setidaknya belum
terlalu jauh, aku masih ingin mengejar keterlambatan itu, sebuah kesalahan
bagiku hanya menganggapmu sebagai teman semata dan lebih memilih Ira, padahal
yang selama ini mendukungku bahkan sampai aku ingin mlanjutkan pendidikan ke
AAU untuk mengapai impian, selama ini dukungan dari menjadi kekuatan bagiku,
tapi sebuah kesalahan menganggap kalau kekuatan itu dari teman semata.
Aku minta maaf kalau selama ini mengabaikanmu, aku
tak menyadari keberadaanmu yang selalu ada untukku, aku lebih memilih orang
lain ketimbang kamu yang yang selalu ada di sampingku, member hiburan yang
meskipun hanya sedikit
Jujur, aku mulai menyadarinya saat kita telah
berpisah, saat aku pergi ke Jogjakarta untu masuk ke AAU, aku baru menyadari
kalau aku sayang padamu, aku pumya hati yang siap ku berikan padamu untuk kamu
isi. Aku minta maaf kalau aku sedikit mengecewakan, tapi inilah pengakuan yang
benar-benar langsung dari lubuk hatiku yang terdalam.
I LOVE YOU NINA AGAM KARMILAWATI”.
Nina terdiam sangat lama, kemudian membaca pesan itu
sekali lagi, benar-benar membaca dengan cermat setiap katanya. Bagas menyatakan cinta padaku. Nina tak
bisa berpikir dengan jernih, tingkahnya makin aneh, antara sdenang dan bingung
menjadi satu. Tiba-tiba, ada pesan lagi yang masuk, ternyata dari Bagas lagi.
“Aku ingin kamu segera menjawabnya, tapi aku tak mau
hanya sekedar lewat chat,aku ingin kita bertemu, di Malioboro, di toko nasi
yang tadi tempat makan malam”
Nina mulai kegirangan.
“Aaaaaaa…….” Teriak Nina.
“Nina … berisik banget, kenapa sih terial-teriak?”
Dela risih dengan teriakan Nina.
“Gak kok, Cuma dapat chat dari temen SMA, dia baru
jadian hari ini” bohong Nina.
“Oh…” Balas Dela.
Bukan main senangnya hati Nina, melihat pesan yang
dikirim Bagas tertuju padanya membuat Nina melayang hingga ke langitu ke tujuh.
Hal yang selama ini hanya jadi impiannya, hanya jadi angan-angannya, hanya jadi
khayalannya saja, tapi kini terjadi, impiannya, angannya, khayalannya menjadi
nyata. Bagas punya perasaan padaku.
***
Besok malamnya, Nina pergi sendirian ke tempat
dimana ia akan bertemu dengan pujaan hatinya. Dengan penampilan yang cantik bak
putri anak konglomerat, Nina menaiki kendaraan umum dan bergegas ke jalan
Malioboro. Hatinya berdebar-debar, tak sabar ingin bertemu dengan laiki-laki
impiannya, sepanjang perjalanan Nina memikirkan apa yang akan terjadi saat
dirinya bertemu Bagas, pikirannya terbuai dengan hal-hal indah yang akan dia
lakukan bersama Bagas.
Tak lama berada di perjalanan, Nina turun dan
membatyar ongkosnya, pikirannya terus membayangkan tentang Bagas, Bagas dan
Bagas. Tak lama waktu bagi Nina untuk jalan menuju tempat untuk bertemu dengan
Bagas. Terlihat oleh Nina sosok seorang laki-laki berseragam taruna Akademi
Tentara Nasional Indonesia, seragam berwarna coklat rapi dengan sepatu hitam
yang mengkilap itu, sosok yang benar-benar gagah di mata Nina.
“Bagas, maaf aku terlambat” Nina merasa bersalah.
‘”Tak apa, aku yang terlalu cepat datang kemari”
Bagas membalas.
“Tidak kok, aku yang salah, ngomong-ngomong ada apa?
Kenapa kau ingin bertemu denganku disini?” tanya Nina.
“Aku cuma ingin bicara tentang pesan yang yang
kemarin, aku ingin bilang kalau itu sungguhan..” jawabBagas.
“Lalu?” Nina meminta lanjutnya Bagas.
“Tapi bukan untuk jadi kekasih” lanjut Bagas.
Nina terdiam, seketika hatinya hancur berantakan,
berhamburan kemana-mana. Ingin rasanya Nina menangis disana, impiannya selama
ini bagai terbang tertiup angit, matanya mulai berkaca-kaca. Aku ingin pergi saja, aku rasa lebih baik
dia tak ada dalam hidupku.
“Nina…” sambut Bagas dengan memegang tangan Nina.
Nina mulai mengangkat pandangannya, menatap langsung
ke mata Bagas.
“Iya” jawab Nina dengan nada yang lesu.
“Maksudku bukan jadi kekasih, bukan berarti pesan
yang ku kirim padamu itu hanya bohong belaka, aku ingin serius denganmu,
menghadapi masa depan bersamamu, menjalani masa-masa tua bersamamu, membangun
sebuah keluarga bersamamu” jelas Bagas.
Nina memunculkan wajah bingung, sulit mencerna
kata-kata yang keluar dari mulut Bagas, Nina tak ingin kecewa untuk yang kedua
kalinya di satu malam.
“Apa maksudmu?” Nina meminta kejelasan.
“Aku ingin kau yang bersama dengan ku untuk
selamanya, lulus dari akademi, kemudian pendidikan korps, lalu jadi tentara
dengan tempat penugasan yang sudah ditentukan, lalu membangun keluarga, punya
rumah, punya anak-anak, merawat anak-anak, melihat mereka tumbuh dewasa,
melihat mereka menikah, sampai akhirnya di hari tua, aku ingin bersamamu, Nina”
Bagas bicara panjang lebar.
“Jadi..” Nina bingung dan terkejut, wajahnya
benar-benar bingung dan kaget.
“Aku ingin bersamamu untuk selamanya” terang Bagas
dengan nada tegas.
“A-aku b-b-bingung, maksudnya, k-kenapa kamu
m-m-memilihku untuk hal-hal s-s-seperti itu?” Nina merasa benar-benar bingung.
Nina tak berpikir kalau maksud Bagas serius itu
adalah membangung masa depan bersama, Nina tidak membayangkan kalau maksud
Bagas itu serius adalah menikah, punya hubungan untuk selamanya, hingga masa
tua, punya anak, punya rumah, dan membangun rumah tangga, dan itu dilakukan
bersama Bagas.
“Cobalah mengerti sedikit saja, Nina” Bagas mencoba
meyakinkan Nina sambil memegang tangan Nina.
“A-apa maksudmu m-m-menikah?” tanya Nina, tangannya
mulai gemetar.
“Iya” Bagas menjawab pasti, wajahnya mulai serius,
genggaman tangannya yang menggenggam tangan Nina makin keras.
Nina hanya terdiam, pikirannya makin tidak jelas,
makin tak karuan, makin berputar-putar, makin bercampur aduk. Tak tau apa yang
harus dilakukan, tak tau apa yang harus diucapkan. Sementara itu, Bagas
menunggu Nina mengucapkan sesuatu, menunggu reaksi dari Nina.
Memang dari awal bertemu, Bagas menganggap Nina
adalah orang yang paling dekat denganya selain ibunya, ayahnya, dan kakak
perempuannya, bahkan saat menjalin hubungan dengan Ira, sahabat Nina, Nina
masih lebih dekat daripada kedekatannya dengan Ira yang saat itu jadi
kekasihnya. Dari awal Bagas menganggap Nina orang yang spesial, orang yang
paling dibutuhkan oleh Bagas untuk beraa di dekatnya, namun tak ada sedikit pun
rasa cinta dan sayang yang tumbuh dalam hatinya terhadap keberadaan Bagas,
sampai pada hari itu, perlakuan Nina terhadap Bagas saat itu, bukanlah
ditujukan kepada seorang teman, tapi lebih kepada orang yang spesial, lebih
spesial dari hubungan persahabatan. Semenjak hari itu pula, mulai tumbuh rasa
cinta Bagas terhadap Nina, ada keingingin untuk mewujudkan janjinya waktu itu
yang padahal ia ucapkan hanya untuk menenangkan Nina.
“Selesaikan saja pendidikanmu, aku akan menunggu,
sama seperti janjimu padaku saat itu, kamu akan kembali ke tempat saat kamu
pergi untuk jadi seorang tentara, aku akan menunggu mu” perkataan Nina kepada
Bagas.
“Jadi kamu menolaknya” dengan nada yang sedih Bagas
membalas.
“Aku tidak mungkin menolak laki-laki sepertimu, tapi
aku ingin kamu tepati janjimu, ingat, janjimu janji ksatria, maka tepatilah
janjimu, lagi pula aku masih harus menyelesaikan studi kedokteranku, aku masih
ingin jadi seorang dokter, temui aku saat kamu sudah mengenakan seragam tentaramu,
aku ingin melihat kamu saat memakai seragam tentara” Nina mencoba meyakinkan
Bagas.
Bagas pun akhirnya lunak, dia pun ikuti semua
keinginan Nina. Nina akan menunggu Bagas dan Bagas akan berusaha menepati
janjinya pada Nina, kini mereka sudah yakin terhadap apa yang mereka rasakan,
terhadap perasaan mereka cinta satu sama lain. Bagas mulai yakin dengan langkah
yang dia ambil, Bagas tak mau Nina pergi, dia akan terus menggenggam Nina dan
takkan dilepas lagi. Nina menganggap keinginannya selama ini telah tercapai,
aangannya telah sampai ke atas langit, dan sekarang, angan yang telah terbang
itu turun kembali dalam bentuk kenyataan.
Malam itu adalah waktu perpisahan kedua kalinya
untuk mereka berdua. Tak ada makan malam, tak ada jalan bersama di malam hari,
tak ada hal yang spesial pada malam itu, setelah perbincangan itu, Bagas harus
kembali ke asramanya. Tak ada penyesalan bagi Nina berpisah dengan Bagas,
mungkin perpisahan ini akan menjadi perpisahanyang lebih lama dari yang sebelumnya,
tapi itu bukanlah masalah besar bagi Nina.
“Sampai jumpa saat kamu telah jadi tentara, Bagas”
kata-kata perpiahan dari Nina kepada Bagas.
***
Hari ini, empat tahun setelah malam itu, empat tahun
setelah Bagas mengutarakan perasaannya, adalah hari wisuda bagi Nina setelah
menempuh waktu yang lama berkecimpung dalam studinya di fakultas kedokteran,
kini dirinya telah bergelar dokter, dr. Nina Agam Karmilawati, ya itulah nama
Nina sekarang.
“Akhirnya kita wisuda juga” girang Dela hari itu.
“Enam tahun berjuang bersama, ternyata kita bisa
wisuda bersama” balas Nina.
“Aku pikir kamu yang akan wisuda duluan, secara kamu
kan jenius bin ajaib” canda Dela.
“Apa sih Del? aku gal pintar-pintar banget kok”
balas Nina.
“Huft… mulai hari ini kita akan jadi seorang dokter,
mungkin disinilah saatnya kita berpisah” ucap Dela.
“Enam tahun bersama-sama, suka duka, manis pahit di
universitas ini kita lalui bersama”tambah Nina.
“Yang namanya begadang, yang namanya nginep di
kampus, yang namanya dosen galak, yang namanya remedial, yang namanya
presentasi yang susah, udah kita jalani bersama” balas Dela.
“Kehidupan berorganisasi di kampus, menyuarakan
aspirasi, turun ke jalan mengomentari pemerintah, kehidupan mahasiswa sudah
kita lewati” Nina menambhkan lagi.
“Dan itu semua hanya akan menjadi kenangan semata,
hanya akan teringat sesaat, tapi ingatan itulah yang akan memberi sensasi yang
luar biasa, ingatan yang aksan muncul hanya untuk sesaat, tapi akan berbekas
untuk setiap saat” ucap Dela dengan air mata yang mulai menetes.
Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, begitu
pun hari itu, dua sahabat sejati yang telah menghabiskan waktu bersama-sama,
kini harus terpisahkan oleh waktu, Nina dan Dela telah lulus dan kini menjadi
dokter, sebuah perjuangan keras telah terbayarkan juga.
Dua sahabat itu kini berpelukan.
“Nina… jangan lupain aku ya…”haru Dela.
“iya Dela, kamu juga ya jangan lupain aku, kita akan
jadi sahabat selamanya” balas Nina.
Dela terharu, air matanya mulai menetes, turun
secara perlahan, menceritakan waktu kebersamaannya dengan Nina. Setiap tetesnya
memutar ulang setiap kejadian yang dilakukannya bersama Nina selama tiga tahun
ini. Dan kini mereka benar-benar harus berpisah.
***
Tiga hari setelah
wisuda, Dela kembali ke rumahnya di Solo. Masih dengan suasan haru, dengan
tangis yang mengiringi perpisahan mereka.Mereka berpisah di sebuah stasiun.
“Hati-hati di jalan”
ujar Nina.
“Iya, kamu juga, tidak
apa kan kalau aku pulang duluan?” tanya Dela.
“Tidak apa, aku
mengerti kalau orang tuamu ingin kamu pulang, dia pasti rindu padamu, apalagi
mereka tidak bisa melihat anaknya diwisuda menjadi seorang dokter” ujar Nina
lagi.
“Nina…” memeluk Nina
sambil menangis.
Suara pemberitahuan
terdengar, memberitahu bahwa kereta yang akan ditumpangi Dela akan berangkat.
Dela masih memeluk erat sahabatnya itu, tangisnya mulai meledak lagi, kali ini
maikn menjadi.
“Nina…” tangis Dela
sambil memeluk Nina erat.
“Dela, dengarkan aku”
melepas pelukan Dela dan memegang bahunya. “Ini adalah sebuah awal bagi kita,
ya, kita memang berpisah, tapi ini bukanlah sebuah akhir, percayalah kalau
suatu hari kita akan bertemu lagi, bagaimana pun caranya, seperti apa
keadaannya, dan kapanpun itu waktunya, percayalah kalau suatu hari i=nantinkita
akan bertemu lagi, percayalah akan hal itu” terang Nina meyakinkan Dela sambil
menghapus air matanya.
Dela tersenyum,
tangannya memegan erat tangan Nina, tangisnya masih memeleh, air matanya
membanjiri pipinya. Dengan berat hati, Dela melepas tangan Nina, melangkah
menaiki gerbong kereta dan masuk ke dalam, duduk di dekat jendela kereta.
Tak lama Dela naik, terdengar pemberitahuan kalau
kereta yang ditumpangi Dela akan berangkat. Kereta pun mulai bergerak perlahan.
Dela yang duduk di dekat jendela melambaikan tangannya kea rah Nina berdiri.
Begitupun Nina yang berdiri di luar, seiring dengan gerakan kereta api, Nina
melambaikan tangannya ke arah Dela duduk. Kini dua sahabat itu benar-benar.
***
Dua tahun seletah perpisahan itu, Nina kini menjadi
dokter di desanya. Berkat Nina, kesehatan desanya membaik, produktivitas
desanya memingkat, perekonomian desanya pun meningkat. Kini Nina menjadi orang
yang berpengaruh dalam pembangunan desanya, dari seorang gadis desa biasa,
sekarang berubahnya seorang dokter yang luar biasa.
Tapi Nina masih menunggunya, menunggu sosok yang
akan dating kembali menemuinya, sosok tentara yang sudah didambakannya.
Bagas,
kapan kamu kembali? Kenapa lama sekali? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu
melupakan janjimu? Atau kamu asyik dengan kehidupanmu yang kini menjadi tentara.
Nina selalu memikirkan Bagas setiap saat. Saat Nina melamun, tiba-tiba soerang
anak dating dan mengagetkannya.
“Bu dokter, bu dokter kenapa melamun?” kata anak
itu.
“Eh tidak kok, bu dokter lagi mikir aja” jawab Nina.
“Bu dokter mikirin apa? Pacar bu dokter ya…” goda
anak itu.
“Kamu masih kecil udah ngomong pacar-pacaran, tidak
boleh tahu” kata Nina.
Anak itu berlari meninggalkan Nina dengan tawa
karena telah menggoda Nina. Nina hanya tertawa kecil melihat kelakuan anak-anak
kecil itu, bermain bersama, berlari kesana kemari.
Nina pun bergerak, berjalan menyusuri jalan setapak
yang sudah mulai di aspal. Pikirannya melayang jauh ke masa dimana jalan itu
masih berupa tanah coklat. Nina terus bergerak ke arah sebuah tanah lapang yang
berada di tepi sebuah danau, dahulu saat kecil, Nina dan teman –temannya selalu
bermain disana hingga sore hari. Di tanah lapang itulah dia tumbuh, dia
menghabiskan waktu, dia mendapat keceriaan. Tapi kini tanah lapang itu sudah
jarang dipakai, anak-anak lebih memilih bermain di sebuah taman yang telah
dibangun.
Nina berdiri di tepi tanah lapang itu, menatap
langit senja yang mengeluarkan warna jingganya yang indah. Tiba-tiba, dari
belakang ada seseorang memeluknya kemudian orang itu mencium pipi kanan Nina.
Ya, Bagas yang melakukan itu.
Bagas yang mengenakan seragam dinas kantor TNI
angkatan udara, kemejanya yang biru muda dengan berbagai atribut terpampang di
kemeja itu, celananya yang biru tua dan sepatu hitamnya itu, menanbah kegagahan
dari diri Bagas. Rambutnya dengan potongan pendek layaknya seorang tentara,
kini Bagas bukanlah Bagas yang dulu saat SMA, kini Bagas telah berbeda, Letda
(PNB) Bagas Kurniawan, S.Tr.Han, itulah namanya kini.
“Maaf aku baru bisa kembali” Bagas meminta maaf
dengan wajah yang polos.
“Aku banyak pekerjaan, permisi” acuh Nina.
“Nina, hey tunggu” panggil Bagas.
“Jangan ganggu aku, aku sibuk” acuh Nina lagi.
Bagas menarik tangan Nina dan memeluknya, kini
pelukan Bagas lebih erat dari yang sebelumnya.
“Bagas, lepas!” perintah Nina.
“Tidak mau” balas Bagas.
“Lepas, malu tahu dilihat banyak” tegas Nina.
“Biar saja, biar mereka tahu kalau dokter Nina Agam
Karmilawati itu sudah ada yang punya, seorang tentara pula” jelas Bagas.
“Iya, tapi bukan begini caranya, aku jadi tak bisa
nafas tahu” tegas Nina lagi.
“Berisik banget sih, udah diam saja” perintah Bagas
sambil mendekap wajah Nina ke tubuhnya.
Nina merasa sangat senang, bisa berada dalam pelukan
laki-laki yang sudah sangat lama ia idamkan. Dahulu ini hanyalah sebuah mimpi
belaka, tapi kini terjadi di kehidupan nyatanya, bagai sebuah dongeng
anak-anak, yang penuh kisah manis dan keajaiban.
Sebagai seorang tentara, pasti akan ada masa dimana
Bagas harus pergi menjalankan panggilan tugas negara, apalagi dia adalah
seorang penerbang, sudah pasti tempatnya bekerja adalah tempat yang tertutup.
Saat ini Bagas bertugas di Jakarta, di Lanud Halim Perdana Kusuma, salah satu
pangkalan udara milik TNI angkatan udara.
Jarak ibukota dengan desa tempat tinggal Nina di
Malang bukanlah jarak yang dekat, tapi bukanlah sebuah masalah besar bagi Nina,
selagi mereka percaya satu sama lain. Dua tahun menjalani hubungan dengan Bagas
yang selalu diwarnai dengan perpisahan membuat Nina memiliki kehidupan yang
baru dan mengerti apa itu arti cinta dan mencintai, begitupun dengan Bagas,
Bagas kini mengerti kalau inilah yang namanya cinta sejati, bukanlah berasal
dari nafsu dan gengsi semata, tapi dari sebuah pemikiran yang matang.
Suatu senja, Nina yang sedang berjalan meninggalkan puskesmas
tempatnya bekerja melihat seseorang lelaki berdiri dari kejauhan. Hafal betul
nina dengan sosok itu, sosok prajurit pujaannya.
“Kamu sudah pulang, baru tiga minggu” kata Nina.
“Jadi kamu tidak suka aku pulang cepat?
jangan-jangan kamu punya laki-laki lain ya?” ledek Bagas.
“Bukan, ya tidak biasa saja, biasanya kan kamu pergi
dua sampai tiga bulan, paling cepat enam minggu, lah ini baru tiga minggu sudah
pulang” jelas Nina.
“Aku ambil cuti” balas Bagas.
“Loh kok cuti, memang ada apa sampai kamu ambil
cuti?” tanya Nina.
“Begini, aku ingin bilang…” Bagas mengeluarkan wajah
seriusnya.
Nina mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan ini,
wajah Bagas yang serius, menggambarkan ada suatu hal yang penting yang akan
dibicarakan Bagas.
“Mungkin hubungan kita cukup sampai disini saja”
ucap Bagas.
Nina merasakan sesak yang sangat sesak di dadanya
setelah mendengar perkataan itu. Nina ingin sekali menangis saat itu, tapi
ditahannya air mata agar tak jatuh. Nina mencoba tetap tegar.
“Huft…” Nina mengleha nafas. “Kalau memang itu yang
terbaik, baiklah, bukan masalah” lanjut Nina dengan mata yang berkaca-kaca
menahan air mata.
“Nina…” Panggil Bagas.
“Tiadak apa, aku baik kok” tetap mencoba tegar.
Bagas merogo saku celananya, mengambil sesuatu yang
dia simpan di dalam saku celananya itu, sebuah kotak merah keluar dari saku
celananya.
Nina diam menundukkan kepalanya, menahan tangis dan
air matanya. Tiba-tiba, sebuah tangan menyodorkan sebuah cincin dihadapannya,
Bagas yang menyodorkan cincin itu, Nina bingung apa maksud dari Bagas.
“Apa maksudnya?” tanya Nina heran.
“Aku tak ingin jadi kekasih mu lagi, tapi aku ingi
jadi suami mu” jawab Bagas dengan senyum.
“Bagas…” Nina menangis dipelukan Bagas.
“Bagaimana jawabannya?” tanya Bagas meminta
kejelasan.
“Iya…” jawab Nina dengan tangis bahagia.
Bagas memeluk Nina dengan eratnya. Kebahagiaan
menyelimuti mereka berdua. Cuti dua bulan yang diambil Bagas dimanfaatkan untuk
mempersiapkan pernikahan mereka. Dua bulan setelah itu, Bagas harus kembali
pergi bertugas, meninggalkan calon istrinya itu menyiapkan pernikahan mereka
sendirian, Nina harus bekerja keras untuk masalah ini.
Tiga bulan kemudian Bagas kembali dari tugasnya,
semua persiapan hamper selesai, hanya tinggal menentukan tanggal, mencetak
undangan dan menyebarkannya. Tanggal pun ditentukan, kemudian undangan pun
dicetak lalu disebarkan, semuanya telah selesai, hanya tinggal menunggu hari
pernikahan dan acara resepsi.
Hari pernikahan pun tiba, hati Nina berdebar-debar,
impiannya pun kini semakin nyata, laki-laki yang telah ia puja-puja selama ini
kiniakan menikahinya. Disisi lain, Bagas yang bersama teman-temannya tengah
bersiap, Bagas yang mengenakan pakaian serba putih itu terus saja digoda oleh
teman-temannya.
“Hadi, lihat teman kita yang satu ini” ucap Bara.
“Bukan main tampannya teman kita yang satu ini”
tambah Hadi.
“Ssst… jangan berisik, aku tahu kalian iri” ejek
Bagas.
“Siuap pak, saya iri pada bapak” ejek Bara.
“Hahaha… awas. Nanti bajumu kotor, tak jadi menikah
lagi nanti” tambah Hadi.
“Kalaun Bagas tak jadi menikah, aku siap
menggantikan mu Bagas, lumayan juga calon istri mu itu” ejek Bara lagi.
“Kurang ajar kamu Bara” ucap Bagas sambil melempar
sebuah sisir.
“Hap, tak kena” Bara menangkap sisir yang dilempar Bagas.
“Sudahlah Bara, jangan ganggu pengantin yang satu
ini” ejek Hadi.
Bara dan Hadi meninggalkan Bagas yang tengah
bersiap. Tak lama kemudian, upacara pernikahan pun dimulai. Setelah Bagas
mengucapkan ijab qobul dan disahkan oleh saksi, Nina telah resmi menjadi istri
dari seorang tentara. Semua teman-teman Bagas yang hadir pun bersorak merayakan
temannya telah punya istri.
Seminggu setelah pernikahan diadakan acara resepsi. Inilah
yang ditunggu-tunggu oleh Bagas, dalam acara resepsi pernikahan seorang perwira,
akan ada suatu prosesi sakral yang memang turun-temurun dilakukan saat
pernikahan seorang perwira, yaitu upacara pedang pora, sebuah prosesi dimana
serangkaian perwira yang bisa dibilang adik-adik Bagas semasa menjadi taruna di
akademi angkatan udara yang membuat seperti gapura dengan pedang, sebuah
prosesi yang memang harus dilakukan sebagai penandan bahwa seorang perwira
telah melepas masa lajangnya. Dan hari ini, Bagas akan melakukan prosesi pedang
pora tesebut bersama dengan Nina. Dengan seragam dinas upacaranya, Bagas tampak
percaya diri, menggandeng tangan Nina dengan penuh kebanggaan, bangga bisa
melaksanakan prosesi pedang pora sebagai seorang perwira dari TNI angkatan
udara, bangga mengenakan seragam yang selama ini dia banggakan dalam rangkaian
upacara pernikahannya, bangga karena dia dilihat oleh seniornya, juniornya, dan
juga teman-temannya saat dia menikah, bangga karena melihat oang tuanya
tersenyum saat dia melakukan prosesi pedang pora, bangga bisa menjadikan Nina
sebagai istrinya.
Berbeda dengan Nina, Nina merasa sangat gugup saat
melakukan prosesi pedang pora, memang setiap wanita ingin menjalankan prosesi
pedang pora, sebuah acara sakral yangbbenar-benar indah, diperlakukan bagai putri
raja dalam satu hari, tapi bukanlah hal yang biasa bagi Nina dilihat banyak
orang, menjadi pusat perhatian banyak orang, Nina merasa risih dengan keadaan
seperti ini, tangan Nina menggenggam erat tangan tentara yang kini jadi
suaminya itu, semakin lama tangannya mencengkram tangan Bagas, secara reflek Bagas
mengelus tangan Nina, dia tahu kalau istrinya itu tengah gugup, belaian tangan
Bagas menenangkan Nina, bagai memberi pesan “tenanglah, aku disini”. Mendapat
perlakuan yang indah dari Bagas, Nina merasa sdangat senang sekali, dia mulai
merubah perasaannya, suamiku berjalan
dengan gagahnya, penuh wibawa dan kebanggaan, aku tak boleh merusak semua itu,
susah payah dia menyiapkan seragam yang ia dapat dengan susah payah di akademi
hanya untuk dikenakan hari ini, aku tak boleh mengganggu kewibawaannya di depan
junior-juniornya, aku yang menginginkan hal ini, maka aku harus menjalankannya,
gumam Nina dalam hatinya, dia merubah raut wajahnya, senyumnya mengembang,
Nina memperlihatkan wajah manisnya, tak mau kalah dengan wajah serius yang
dipasang oleh Bagas.
Akhirnya prosesi pedang pora selesai, Nina dan Bagas
kini duduk di pelaminan mereka. Nina benar-benar merasa tenang, kumpulan dokter
rekan-rekan Nina dan kumpulan tentara dari angkatan darat, angkatan laut, dan
angkatan udara serta dari kepolisian, semua kenalan Bagas melihat ke arah
mereka, ini belum berakhir, kuatkan hamba
Tuhan, kata Nina dalam hati. Seperti di acara resepsi-resepsi pada umumnya,
semua tamu pasti akan mengucapkan selamat kepada pengantin dan member salaman
yang hangat sebagai tanda ucapan selamat itu. Wajah Nina masam sekali.
“Istriku tercinta, kenapa mukanya masam sekali?”
goda Bagas.
“Apa sih mas, jangan ganggu deh” ketus Nina.
“Idih, manggilnya udah mas ya, perasaan kemarin
masih manggil Bagas saja” goda Bagas.
“Jadi tidak mau dipanggil mas, mau dipanggil Bagas
saja, oke, aku sih fine-fine aja”
ancam Nina.
“Iya deh sayangku, panggil mas Bagas saja, biar
romantis” goda Bagas lagi.
“Cukup mas Bagasku”
kata Nina.
“Iya istriku tercinta” balas Bagas.
Canda dari Bagas membuat Nina merasa lebih baik,
merasa senang, merasa bahagia, Nina menganggap kalau pilihannya menikah dengan
Bagas bukanlah sebuat pilihan yang salah, dia tahu kalau konsekuensi menikah
dengan seorang prajurit TNI adalah akan ditinggal dalam bertugas, tapi itu tak
akan jadi masalah bagi Nina.
Besok harinya, setelah acara resepsi pernikahan
mereka, Bagas mendapat panggilan tugas, Bagas harus kembali ke Jakarta, ke
Lanud Halim Perdana Kusuma karena ada tugas mendadak.
“Nina” panggil Bagas.
“Iya mas, ada apa?” tanya Nina.
“Mas harus pergi ke Jakarta, ada tugas mendadak dari
atasan” jelas Bagas.
“Hah, Mas Bagas sungguhan harus pergi, baru kemarin
resepsi” kata Nina dengan nada kecewa.
“Mas minta maaf, ya namanya juga Mas terpaksa” jelas
Bagas lagi.
“Yasudahlah Mas, mau diapakan lagi, yang namany
tugas ya harus dilaksanakan” pasrah Nina.
“Mas minta maaf ya” kata Bagas dengan nada memelas.
“Mas kapan berangkat?” tanya Nina.
“Besok” jawab Bagas.
“Yasudah, nanti aku rapihin barang-barang Mas” balas
Nina makin pasrah.
“Huh… Mas jadi makin sayang sama kamu” kata Bagas.
“Jangan gombal deh Mas, sudah makan dulu, nanti
makanannya dingin” balas Nina.
Bukan main kecewanya Nina, hanya punya waktu satu
minggu setelah dia menikah untuk bersama dengan lelaki yang baru menjadi
suaminya, kini Nina benar-benar harus ditinggal Bagas bertugas. Bagas baru akan
kembali lagi setelah tiga bulan, untuk menghabiskan waktunya, Nina mulai
menjadi dokter kembali di puskesmas yang ada di desanya.
Suatu hari, Nina dapat promosi untuk bekerja menjadi
dokter bedah di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Nina mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studinya untuk S2. Dengan kecepatan kilat Nina mengabarkan suaminya
yang ada di Jakarta. Bagas yang mendengar hal itu merasa senang bukan main,
tapi tempatnya menuntut ilmu sangatlah jauh, Jerman, salah satu negara di Eropa
barat itu. Namun Bagas mendukung apapun yang dianggap baik untuk istrinya.
Akhirnya Nina pun mengambil studi S2 nya di Jerman,
berangkatlah Nina ke Jerman, kini jarak pasangan suami istri itu makin jauh.
Selama Nina berada di Jerman, Bagas tak pernah pulang ke Wonosobo, rumah mereka
yang di Wononsobo dititipkan kepada Pak Diman, bapak penjual soto di desanya,
memang selama ini Pak Diman dan keluarganya mengontrak rumah dan dengan alasan
itulah Bagas mempersilahkan Pak Diman dan keluarganya menempati rumah mereka,
membantu seseorang sekaligus mendapat bantuan.
***
Tiga tahun telah berlalu, Nina pun kembali ke tanah
air dengan gelar S2 nya yang dari Jerman itu. Setelah mengurus berkas-berkas
yang diperlukan, Nina pun resmi pindah ke Jakarta, menjadi dokter bedah di
rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Butuh waktu tiga tahun untuk mereka bisa
tinggal satu rumah setelah mereka menikah. Kini Bagas dan Nina tinggal di rumah
dinas yang diberikan TNI angkatan udara untuk Bagas, di komplek Halim Perdana
Kusuma. Nina jadi teringat saat masih SMP, dia ikut bersama pamannya mengirim
sebuah paket yang alamatnya di dalam komplek tersebur, Nina merasakan sangat
sulitnya bagi orang sipil untuk masuk kesana, tapi kini Nina lah yang tinggal
disana, menjadi istri seorang prajurit TNI angkatan udara.
Satu tahun hidup bersama dengan Bagas, akhirnya Nina
hamil, ini anak pertama bagi mereka berdua. Tiga puluh delapan minggu kemudian,
di tanggal 19 Juni 2005, lahir sorang anak laki-laki dari persalinan normal,
anak pertama Bagas dan Nina, bayi laki-laki yang sehat, bayi itu diberi nama
Ahmad Yani Kurniawan, diberi nama Ahmad Yani karena anak Bagas dan Nina lahir
ditanggal 19 Juni, hari dimana pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani juga
dilahirkan, selain itu Jenderal Ahmad Yani adalah idola Bagas. Kebahagiaan
menyelimuti Bagas dan Nina, kini keluarga mereka menjadi keluarga yang utuh.
Satu tahun kemudian, Nina hamil lagi, dikehamilan
keduanya, Nina juga mengandung anak laki-laki, bayi itu lahir 23 Januari 2007
yang juga lahir dengan persalinan normal, bayi keduanya itu diberi nama Omar
Dhani Kurniawan, seperti nama panglima TNI angkatan udara sekitar tahun
1963-1965, yaitu Omar Dhani yang juga lahir di tanggal 23 Januari.
Kini Bagas dan Nina memiliki dua anak, Nina
memutuskan untuk berhenti menjadi dokter dan memilih untuk menjadi ibu rumah
tangga, mengurus anak-anak dan suaminya.
Dua tahun kemudian, Nina hamil untuk yang ketiga kalinya
dan bayi yang dilahirkan pun juga laki-laki, lahir ditanggal 1 Januari 2010,
anal ketiganya diberi nama Anugerah Surya Kurniawan, sebagai doa agar anaknya
ketiga ini selalu membawa anugerah yang baik seperti matahari yang member
kebaikan setiap saat.
Ketiga anaknya tumbuh dengan baik seperti anak
lainnya, bedanya mereka diajarkan Bagas disiplin dan rasa cinta tanah air
dengan sangat keras, tapin tak membuat anak-anak mereka jadi takut pada
ayahnya, justru ketiga anak itu ingin seperti ayahnya, menjadi seorang perwira.
Yani ingin menjadi prajurit angkatan darat, Dhani benar-benar mengidolakan
ayahnya, ingin menjadi penerbang di angkatan udara, sementara si bungu Surya
ingin menjadi pelaut angkatan laut. Nina merasa kalau mungkin dirinya akan
dikelilingi prajurit TNI di masa depan, tapi apa boleh buat, Nina hanya bisa
mendukung apa yang diinginkan anak-anaknya, sama seperti senja itu, saat Bagas
pergi untuk menuntut ilmu di akademi angkatan udara di Jogjakarta, dan nanti
dia akan melakukan hal itu untuk ketiga buah hatinya yang dia sayangi.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar